Senin, 12 Juli 2010

Teori Belajar Konsep dan Strategi Penerapannya di Kelas

Hal yang harus disadari saat ini adalah pentingnya belajar konsep tentang sesuatu. Konsep yang dimaksud disini tidak lain dari kategori-kategori yang kita berikan dari stimulus atau rangsangan yang ada di lingkungan kita. Konsep yang ada di dalam struktur kognitif individu merupakan hasil dari pengalaman yang ia peroleh. Jika keadaannya demikian, sebagian konsep yang dimiliki individu merupakan hasil dari proses belajar yang mana proses hasil dari proses belajar ini akan menjadi pondasi (building blocks) dalam struktur berpikir individu. Konsep-konsep inilah yang dijadikan dasar oleh seseorang dalam memecahkan masalah, mengetahui aturan-aturan yang relevan, dan hal-hal lain yang ada keterkaitannya dengan apa yang harus dilakukan oleh individu.
Definisi konsep menurut sebagian besar orang adalah sesuatu yang diterima dalam pikiran atau ide yang umum dan abstrak. Menurut salah satu ahli, konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama (Croser, 1984).

Tujuh dimensi konsep menurut Flavell (1970) adalah:
atribut
struktur
keabstrakan
keinklusifan
generalitas/keumuman
ketepatan
kekuatan atau power

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan suatu abstraksi mental dari pengalaman responsif terhadap stimulus.

Cara Individu Memperoleh Konsep-konsep
Menurut teori Ausubel (1968), individu memperoleh konsep melalui dua cara, yaitu melalui formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep menyangkut cara materi atau informasi diterima peserta didik. Formasi konsep diperoleh individu sebelum ia masuk sekolah, karena proses perkembangan konsep yang diperoleh semasa kecil termodifikasi oleh pengalaman sepanjang perkembangan individu. Formasi konsep merupakan proses pembentukan konsep secara induktif dan merupakan suatu bentuk

belajar menemukan (discovery learning) melalui proses diskriminatif, abstraktif dan diferensiasi. Contoh pemerolehan konsep pada anak adalah ketika anak melihat benda atau orang yang ada di lingkungan terdekatnya. Misalnya, pada saat seorang anak yang baru berumur 2 tahun memanggil Bapak dan Ibunya pertama kali karena setiap hari Bapak dan Ibunya selalu bersama-sama anak tersebut. Anak menyebut diri yang memandikan dan meninabobokkan saat tidur adalah Ibu dan menggendong serta mengajaknya bermain adalah Bapak.

Sedangkan asimilasi konsep menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai memasuki bangku sekolah. Asimilasi konsep ini terjadi secara deduktif. Biasanya anak diberi atribut sehingga mereka belajar konseptual, misalnya atribut dari gajah adalah hewan dan belalai. Dengan demikian anak dapat membedakan antara konsep gajah dengan hewan-hewan lain
Tingkat-tingkat Pencapaian Konsep

Empat tingkat pencapaian konsep menurut Klausmeier (Dahar, 1996:88) adalah sebagai berikut:

1). Tingkat konkret
Pencapaian tingkat ini ditandai dengan adanya pengenalan anak terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Misalnya pada suatu saat anak bermain kelereng dan pada waktu yang lain dengan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa mengidentifikasi bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai tingkat konkret. Dengan demikian dapat dikatakan juga anak mampu membedakan stimulus yang ada di lingkungannya terhadap kelereng tersebut. Pada saat ini anak sudah mampu menyimpan gambaran mental dalam struktur kognitifnya.

2). Tingkat identitas
Seseorang dapat dikatakan telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu, memiliki orientasi ruang yang berbeda terhadap objek itu, atau bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda. Misalnya mengenal kelereng dengan cara memainkannya, bukan hanya dengan melihatnya lagi.

3). Tingkat klasifikatori

Pada tingkat ini anak sudah mampu mengenal persamaan dari contoh yang berbeda tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak mampu membedakan antara apel yang masak dengan apel yang mentah.

4). Tingkat formal

Pada tingkat ini anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain, membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya, bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.

Strategi Pembelajaran Konsep di SD
Ada 2 strategi utama yang dapat digunakan untuk pembelajaran konsep, yaitu melalui pendekatan inkuiri dan pendekatan ekspositori. Pada pendekakatan inkuiri, para peserta didik dapat diperlihatkan sekelompok benda yang berbeda yang satu sekelompok benda yang merupakan contoh dari konsep yang ingin disampaikan, dan sekelompok benda yang lain merupakan yang bukan contoh dari konsep yang ingin disampaikan. Cara penyampaiannya dapat bermacam-macam dari pengkelompokkan secara tertulis atau melalui bentuk gambar maupun suara. Selanjutnya, para peserta didik diminta untuk melakukan permainan tebak-tebakan. Mereka diminta melengkapi kelompok benda yang merupakan contoh konsep dan juga yang bukan contoh konsep. Mungkin diantara mereka ada yang berhasil mengkategorikan kelompok benda yang contoh dan bukan contoh konsep tersebut, dan adapula yang tidak berhasil. Pada akhirnya, para peserta didik akan tergiring dan termotivasi untuk berfikir dan menemukan contoh-contoh dari konsep yang dimaksud yang mereka kembangkan sendiri. Pendekatan inkuiri lebih cocok digunakan untuk peserta didik di kelas-kelas awal SD, tentunya dengan bimbingan guru.

Strategi kedua untuk mengajarkan konsep adalah dengan pendekatan ekpositori. Berbeda dengan inkuiri, pada pendekatan ekspositori, peserta didik dimotivasi sejak awal untuk menemukan contoh-contoh yang dikembangkannya sendiri untuk mengkategorikan sebuah konsep. Namun demikian, tetap guru harus menjelaskan secara rinci tentang konsep yang dibicarakan. Pendekatan ekspositori lebih sesuai digunakan di kelas-kelas tinggi di SD, karena para siswa di kelas tinggi di SD sudah dapat diajak berpikir detil, dan komprehensif.



sumber : Pakde sofa

Masalah Pendidikan Di Indonesia

Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikandi Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.

Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globslisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan Negara lain.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan Negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karana itu, kiata seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di Negara-negara lain.

Setelah kita amati, Nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

Ada banyak penyabab mengapa mutu pendidikan di Indonesia, baik pendidikan formal maupun informal, dinilai rendah. Penyebab rendahnya mutu pendidikan yang akan kami paparkan kali ini adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran.

2.1 EFEKTIFITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA

Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.

Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.

Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanak pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dinaggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunya kelebihan di bidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.

Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan di bidang sosial dan dipaksa mangikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.

2.2 EFISIENSI PENGAJARAN DI INDONESIA

Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaiman dapat meraih stendar hasil yang telah disepakati.

Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.

Jika kita berbiara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kami lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan Negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, Karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.

Selain itu, masalah lain efisienfi pengajarn yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.

Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.

Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.

2.3 STANDARDISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.

Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.

Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP)

Tinjauan terhadap sandardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.

Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.

Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.

Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi.

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.





Sumber : Kusumadewi Priraharjo

Sabtu, 10 April 2010

Mendefinisikan Prasangka

Prasangka adalah suatu purbasangka: yaitu keyakinan yang terbentuk sebelumnya, pendapat, atau keputusan dibuat tanpa memastikan fakta-fakta kasus. The word prejudice is most commonly used to refer to a preconceived judgment toward a people or a person because of race , social class , gender , ethnicity , age , disability , political beliefs, religion , sexual orientation or other personal characteristics. Prasangka Kata yang paling sering digunakan untuk mengacu ke penilaian prasangka terhadap orang-orang atau seseorang karena ras , kelas sosial , gender , etnis , usia , kecacatan , kepercayaan politik, agama , orientasi seksual, atau karakteristik pribadi lainnya. It also means a priori beliefs (without knowledge of the facts) and includes "any unreasonable attitude that is unusually resistant to rational influence." [ 1 ] Although positive and negative prejudice both exist, when used negatively, "prejudice" implies fear and antipathy toward such a race. Hal ini juga berarti apriori keyakinan (tanpa pengetahuan tentang fakta-fakta) dan termasuk "setiap sikap tidak masuk akal yang luar biasa tahan terhadap pengaruh rasional". [1] Walaupun prasangka positif dan negatif baik ada, bila digunakan secara negatif, "prasangka" menyiratkan takut dan antipati menuju seperti berlomba.

  • Cognitive Prejudice refers to what people believe to be true. metaphysical or methodological philosophy at the expense of other philosophies which may offer a more complete theoretical explanation. Prasangka kognitif mengacu pada apa yang orang percaya benar. metafisik atau metodologi filsafat dengan mengorbankan lainnya filosofi yang dapat menawarkan penjelasan teoritis yang lebih lengkap.
  • Affective Prejudice refers to what people like and dislike: for example, in attitudes toward members of particular classes such as race , ethnicity , national origin, or creed . Prasangka afektif mengacu pada apa yang orang suka dan tidak suka: misalnya, dalam sikap terhadap anggota tertentu kelas seperti ras , etnis , asal-usul kebangsaan, atau keyakinan .
  • Behavioral Prejudice refers to how people are inclined to behave. Prasangka perilaku mengacu pada bagaimana orang cenderung berperilaku. It is regarded as an attitude because people do not act on their feelings. Hal ini dianggap sebagai suatu sikap karena orang tidak bertindak berdasarkan perasaan mereka. An example of conative prejudice may be found in expressions of what should be done if the opportunity presents itself. Contoh prasangka konatif dapat ditemukan dalam ekspresi dari apa yang harus dilakukan jika ada kesempatan.

These three types of prejudice are correlated, but all need not be present in a particular individual. Ketiga jenis prasangka yang berkorelasi, tapi semua tidak perlu hadir dalam individu tertentu. Someone may believe that a particular group possesses low levels of intelligence , but harbor no ill feeling towards that group. Seseorang mungkin percaya bahwa kelompok tertentu memiliki rendahnya tingkat kecerdasan , namun pelabuhan tidak ada perasaan sakit terhadap kelompok itu. A group may be disliked because of intense competition for jobs, but still recognize no differences between groups. Sebuah kelompok mungkin tidak disukai karena persaingan yang ketat untuk pekerjaan, tetapi masih mengakui ada perbedaan antara kelompok.

" Discrimination " is a behavior (an action), with reference to unequal treatment of people because they are members of a particular group. " Diskriminasi "adalah perilaku (tindakan), dengan mengacu pada perlakuan yang berbeda terhadap orang karena mereka adalah anggota dari sebuah kelompok tertentu. Farley also put discrimination into three categories: [ 2 ] Farley juga menaruh diskriminasi dalam tiga kategori: [2]

  • Personal / Individual Discrimination is directed toward a specific individual and refers to any act that leads to unequal treatment because of the individual's real or perceived group membership. Pribadi / Perorangan Diskriminasi diarahkan individu tertentu dan mengacu pada suatu tindakan yang mengarah pada perlakuan yang tidak adil karena dianggap anggota grup yang nyata atau individu.
  • Legal Discrimination refers to "unequal treatment, on the grounds of group membership, that is upheld by law." [ 3 ] Apartheid is an example of legal discrimination against Black South Africans , as are also various post- Civil war laws in the southern United States that legally disadvantaged African Americans , with respect to property rights, employment rights, permission to pass a white residential area and the exercise of constitutional rights . Diskriminasi Hukum mengacu pada "perlakuan yang tidak adil, atas dasar keanggotaan kelompok, yang ditegakkan oleh hukum". [3] Apartheid adalah contoh diskriminasi hukum melawan Black Afrika Selatan , seperti juga berbagai pasca- perang Sipil undang-undang di selatan Serikat menyatakan bahwa secara hukum dirugikan Amerika Afrika , sehubungan dengan hak milik, hak kerja, izin untuk melewati daerah perumahan yang putih dan pelaksanaan hak-hak konstitusional .
  • Institutional Discrimination refers to unequal treatment that is entrenched in basic social institutions resulting in advantaging one group over another. Diskriminasi institusional mengacu pada perlakuan yang tidak adil yang tertanam di dasar lembaga-lembaga sosial yang mengakibatkan advantaging satu kelompok atas yang lain. The Indian caste system and European feudal system are historical examples of institutional discrimination. The India sistem kasta dan sistem feodal Eropa adalah contoh-contoh historis dari diskriminasi institusional. Present day policies seen as institutional discrimination are Islamic Law moral codes concerning the status of Women in Saudi Arabia . kebijakan hari sekarang dilihat sebagai diskriminasi institusional adalah Hukum Islam kode moral tentang status Perempuan di Arab Saudi .

As with prejudice generally, these three types of discrimination are correlated and may be found to varying degrees in individuals and society at large. Seperti prasangka umum, ketiga jenis diskriminasi tersebut berkorelasi dan dapat ditemukan di berbagai tingkat individu dan masyarakat pada umumnya. Many forms of discrimination based upon prejudice are outwardly acceptable in most societies. Berbagai macam bentuk diskriminasi berdasarkan prasangka yang luar diterima di sebagian besar masyarakat.

Contemporary theories [Teori Kontemporer]

Contemporary theories of intergroup bias (prejudice) tend to explain intergroup bias in terms of various social psychological motivations (Miles, Mark & Hazel, 2002). teori Kontemporer bias antarkelompok (prasangka) cenderung bias menjelaskan antarkelompok dalam berbagai motivasi psikologis sosial (Miles, Mark & Hazel, 2002). They are social identity theory , terror management and subjective uncertainty reduction theory. Mereka teori identitas sosial , manajemen teror dan teori pengurangan ketidakpastian subyektif.

Terror management theory [Teori manajemen Teror]

Solomon, Greenberg and Pyszczynski (1999) in their terror management theory proposed that people have a need for self-preservation which is raised and frustrated by their awareness of the inevitability of their own death . Salomo, Greenberg dan Pyszczynski (1999) dalam mereka teori manajemen teror diusulkan bahwa orang memiliki kebutuhan untuk mempertahankan diri yang dibangkitkan dan frustrasi oleh kesadaran mereka akan keniscayaan mereka sendiri mati . To deal with their mortality, people adopt a cultural world view that imbues subjective reality with stability and permanence and provides standards of value against which judgments of self-esteem can be made. Untuk menghadapi kematian mereka, orang-orang yang mengadopsi budaya pandangan dunia bahwa Bumiputera berupaya menumbuhkan realitas subyektif dengan stabilitas dan permanen dan menyediakan standar nilai terhadap yang penilaian dari harga diri dapat dibuat. According to Terror management theory , people evaluate in-group members positively because similar others are assumed to support, and therefore validate, their own cultural world view; in contrast, they evaluate out-group members negatively because dissimilar others are assumed to threaten their world view. Menurut teori manajemen teror , orang mengevaluasi-kelompok anggota dalam positif karena orang lain yang sama diasumsikan untuk mendukung, dan karena itu memvalidasi, melihat budaya dunia mereka sendiri, dalam kontras, mereka mengevaluasi-kelompok anggota keluar negatif karena orang lain berbeda diasumsikan mengancam dunia mereka tampilan. There is extensive evidence that people show greater intergroup bias when they are made aware of their own mortality (Florian & Mikulincer, 1998). Ada bukti luas bahwa orang menunjukkan lebih besar antarkelompok bias ketika mereka dibuat sadar akan kematian mereka sendiri (Florian & Mikulincer, 1998).

Subjective uncertainty reduction theory [pengurangan teori subjektif ketidakpastian]

Moreover, Hogg (2000) in his subjective uncertainty reduction theory proposed that people are motivated to reduce subjective uncertainty by identifying with social groups, which provide clear normative prescriptions for behaviours and thus imbues people with a positive valence. Selain itu, Hogg (2000) dalam teori pengurangan ketidakpastian subyektif-nya diusulkan bahwa orang-orang termotivasi untuk menurunkan ketidakpastian subyektif dengan mengidentifikasi dengan kelompok-kelompok sosial, yang memberikan jelas normatif resep untuk Bumiputera berupaya menumbuhkan perilaku dan dengan demikian orang-orang dengan valensi positif. Some evidence shows that manipulations of subjective uncertainty influence levels of both in-group identification and intergroup bias. Beberapa bukti menunjukkan bahwa manipulasi tingkat ketidakpastian pengaruh subjektif dari kedua identifikasi di-kelompok dan intergroup bias. For example, a positive relationship has been found between the need for closure and both in-group identification and intergroup bias (Shah et al. 1998). Sebagai contoh, suatu hubungan yang positif telah ditemukan antara kebutuhan untuk penutupan dan baik di-identifikasi kelompok dan antarkelompok bias (Shah et al). 1998.

For further interest, reader may refer to introduction to social psychology by Vaughan and Hogg (2005) or Annual Review of Psychology. Untuk kepentingan lebih lanjut, pembaca bisa merujuk ke pengantar psikologi sosial oleh Vaughan dan Hogg (2005) atau Tahunan Tinjauan Psikologi.

Sociology [Sosiologi]

Sociologists termed prejudice an adaptive behaviour [ citation needed ] . Biased views may be important at times for survival . Sosiolog disebut prasangka yang adaptif perilaku [ rujukan? ]. bias dilihat mungkin penting pada waktu-waktu untuk bertahan hidup . There is not always enough time to form a legitimate view about a potential foe before adopting a defensive stance that could save lives. Ada tidak selalu cukup waktu untuk membentuk pandangan yang sah tentang musuh potensial sebelum mengadopsi sikap defensif yang bisa menyelamatkan nyawa. Prejudice is non-adaptive when it interferes with survival or well-being. Prasangka adalah non-adaptif ketika mengganggu kelangsungan hidup atau kesejahteraan.

Common misconceptions [Kesalahpahaman Umum]

At times, the terms prejudice and stereotype might be confusing: Pada kali, prasangka syarat dan stereotip mungkin membingungkan:

  • Prejudices are abstract-general preconceptions or abstract-general attitudes towards any type of situation, object, or person. Prasangka prasangka yang abstrak-umum atau sikap abstrak-umum terhadap semua jenis situasi, objek, atau orang.
  • Stereotypes are generalizations of existing characteristics that reduce complexity. Stereotip adalah generalisasi dari karakteristik yang sudah ada yang mengurangi kompleksitas.

Sumber : Prasangka - Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas

Masalah Sosial

Blumer (1971) dan Thompson (1988) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat dan kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama. Entitas tersebut dapat merupakan pembicaraan umum atau menjadi topik ulasan di media massa, seperti televisi, internet, radio dan surat kabar.

Stratifikasi Sosial

Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).

Pengertian

Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.

Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial

Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.

Ukuran kekayaan

Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

Ukuran kekuasaan dan wewenang

Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

Ukuran kehormatan

Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.

Ukuran ilmu pengetahuan

Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.



Sumber
:
  • Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
  • Gambar dari aandhimas.blogspot.com/2009/11/p...ial.html

Konsep General Education

Dalam kehidupan masyarakat modern ketergantungan hidup terhadap produk teknologi terutama teknologi informasi. Kemajuan iptek di era globalisasi (kehidupan tanpa tapal batas), menuntut masyarakat untuk memiliki kemampuan spesialisasi. Hal ini berpengaruh pada pola fikir, pola hidup dan perilaku. Teknologi disatu sisi membantu aktivitas hidup masyarakat, di sisi lain menjadikan sikap mental masyarakat malas, karena dibuai berbagai kemudahan. Kehidupan di zaman modern seolah-olah tidak akan dapat bertahan hidup tanpa bantuan produk teknologi, hal ini memaksa kehidupan menjadi konsumtif. Pada saatnya akan menggusur nilai-nilai kemanusiaan yaitu kemandirian dalam mengatasi persoalan hidupnya. Nilai-nilai kemandirian sangat dibutuhkan karena didalamnya ada unsur kreatifitas dan efisiensi. Situasi yang dilematis, perkembangan kehidupan modern biaya hidup menjadi tinggi, namun tidak mengikuti perkembangan jauh ketinggalan, ini merupakan problematika kehidupan modern.
Untuk mengantisipasi dampak negatif kemajuan iptek dan lajunya arus globalisasi yang cepat, perlu menyadari untuk segera membekali peserta didik dengan kemampuan dasar diantaranya nilai-nilai kemandirian. Secara filosofis kemampuan tersebut berupa kemampuan dalam memahami, memaknai dan mengamalkan nilai-nilai esensial yang ada pada dirinya baik sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat, warga Negara maupun sebagai bagian dari alam.
Abad 20 di Amerika dan Eropa, hasil analisis mereka berkesimpulan bahwa sistem pendidikan modern telah menghasilkan para saintis dan teknokrat yang handal tapi tidak melahirkan para lulusan yang memiliki integritas kepribadian. Menurut Philip H. Phenix (1964:6), untuk menghasilkan para lulusan yang memiliki kompetensi kepribadian dan keahlian yang matang diperlukan pemahaman dan pengalaman enam pola makna esensial bagi segenap mahasiswa yaitu ;
a) Makna symbolycs, yaitu kemampuan berbahasa dan berhitung
b) Makna empirics, yaitu kemampuan untuk memaknai benda-benda melalui proses penjelajahan dan penyelidikan empiris
c) Makna esthetics, yaitu kemampuan memaknai keindahan seni dan fenomena alam
d) Makna ethics, yaitu kemampuan memaknai baik dan buruk
e) Makna synoetics, yakni kemampuan berfikir logis, rasional sehingga dapat memaknai benar dan salah
f) Makna synoptic, yaitu kemampuan untuk beragama atau berfilsafat
Keenam pola makna di atas dikemas dalam bentuk General Education (Pendidikan Umum)
Philip H. Phenix (1963:8) merumuskan tujuan pendidikan umum :
A complete person should be skilled in the use of speech, symbol and gesture, factually well informed, capale of creating and apresiating object of esthetic significance, endowed with a rich and disciplined life in relation to self and others, able to make wise decision and to judge between right and wrong and possed of an integral out look. Artinya manusia yang memiliki kemampuan dalam menggunakan kata-kata, symbol, isyarat, dapat menerima informasi factual, dapat melakukan dan mengapresiasi objek-objek seni, memiliki kemampuan dan disiplin hidup dalam hubungan dengan dirinya maupun orang lain, cakap dalam mengambil keputusan yang bijaksana, dapat mempertimbangkan antara yang benar dan yang salah serta memiliki pandangan yang integral. Wolfgang Klafki (1968:20) : general education merupakan bidang studi yang komprehensif karena mendidik kepala, hati dan tangan. Secara terintegrasi. Sasaran yang disentuh dalam general education adalah tiga potensi utama manusia yaitu : akal, hati dan tingkah lakunya.
Di Amerika dan Inggris, konsep general education diakui sebagai sebuah program studi yaitu program pendidikan yang mengembangkan seluruh aspek kepribadian dalam rangka menciptakan masyarakat yang berbudaya, demokratis dan perduli terhadap lingkungannya baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. Laporan lima puluh tahunan dari Nation Society for the study of education tahun 1958, program studi general education di Amerika, dilatarbelakangi oleh empat hal, yaitu :
1. Sebagai reaksi masyarakat terhadap spesialisasi keilmuan yang berlebihan, dimana para spesialis telah mendewakan hasil-hasil temuannya yang menakjubkan, sementara mereka lupa pada nilai-nilai esensial kemanusiaannya.
2. Sebagai reaksi terhadap kepincangan penguasaan minat-minat khusus dengan perolehan peradaban yang lebih luas
3. Sebagai reaksi terhadap pengkotak-kotakan kurikulum dan pecahnya pengalaman belajar siswa
4. Sebagai reaksi terhadap formalism dalam pendidikan liberal

Sumber : http://isbdku.blogspot.com/2010/02/konsep-general-education.html

Kamis, 08 April 2010

Materi Konsep Dasar Manusia Sebagai Makhluk Budaya

Tujuannya :

Agar mahasiswa mampu memahami konsep-konsep dasar manusia sebagai mahluk budaya serta pemahaman konsep tersebut dijadikan dasar pengetahuan dalam mempertimbangkan dan mensikapi berbagai roblematika budaya yang berkembang dalam masyarakat.



Sarjana diharapkan memiliki 3 jenis kemampuan :


1.Kemampuan personality, memiliki pengetahuan sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku, dan tindakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai keagamaan, kemasyarakatan dan kenegaraan.

2.Kemampuan akademik, kemampuan komunikasi ilmiah, lisan dan tulisan, berfikir logis, kritis, sistematis dan analitik.
3.Kemampuan profesional.


Manusia sebagai mahluk budaya :


• berkemampuan menciptakan kebaikan, kebenaran, keadilan dan bertanggung jawab untuk kebahagiaan dan kesempurnaan kehidupannya.

• mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan hidupnya.


Manusia tidak semata-mata hanya makhluk biologi saja tetapi juga dia sebagai :


• mahluk sosial
• mahluk ekonomi

• mahluk politik
• mahluk budaya
• mahluk psikologi


Kajian pengetahuan budaya

Kita ingin menciptakan atau penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani sebagai usaha memanusiakan diri dalam alam lingkungannya baik fisik maupun mental.
Manusia memanusiakan dirinya dan lingkungannya artinya manusia membudayakan alam, memanusiakan hidup dan menyempurnakan hubungan insani.
Mengkaji pengetahuan kebudayaan agar kita bisa mengembangkan kepribadian dan wawasan pemikiran.
Dengan mengkaji pengetahuan kebudayaan (humanities) kita akan menjadikan homo humanus yaitu manusia yang berpribadi manusiawi, berbudaya, dan halus.




Definisi Kebudayaan

• E.B. Taylor : Kebudayaan adalah suatu kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepecayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

• R. Linton : Kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah lakunyang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
• Koentjaraningrat : Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia melalui proses belajar.
• Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi : Kebudayaan adalah semua hasil, rasa dan cipta masyarakat

Kebudayaan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objekmateri dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.
Dengan hasil budaya manusia, maka terjadilah pola kehidupan, pola kehidupan inilah yang menyebabkan hidup bersama dan dengan pola kehidupan ini dapat mempengaruhi cara berfikirdan gerak social.
Melalui kebudayaan manusia mampu menciptakan kebaikan, kebenaran, keadilan dan bertanggung jawab untuk kebahagiaan dan kesempurnaan kehidupan.Dengan memfungsikan akal budinya, pengetahuan kebudayaan bisa mempertimbangkan, menyikapi problem budayanya.


Wujud Kebudayaan


• J.J Honigmann (The World of Man, 1959) membagi kebudayaan menjadi tiga wujud, yaitu : ideas, activities, dan artifact.

• Koentjaraningrat :
1. Kompleks dari ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan aturan (sistem budaya). Disebut sistem budaya karena gagasan dan pikiran tersebut tidak merupakan kepingan-kepingan yang terlepas melainkan saling berkaitan berdasarkan asas-asas yang erat hubungannya, sehingga menjadi sistem gagasan dan pikiran yang relatif mantap dan kontinyu.
2. Kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat (sistem sosial). Sistem sosial tdk lepas dari sistem budaya adapun bentuknya pola-pola aktivitas tersebut ditentukan atau ditata oleh gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran yang ada dalam kepala manusia.
Karena saling berinteraksi antar manusia, maka pola aktivitas dapat pula menimbulkan gagasan, konsep dan pikiran baru serta tidak mustahil dapat diterima dan mendapat tempat dalam sistem budaya dari manusia yang berinteraksi tersebut.
3. Benda-benda hasil karya manusia (Sistem Kebendaan).
Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya.
Aktivitas karya manusia tersebut menghasilkan benda untuk berbagai keperluan hidupnya.
Kebudayaan dalam bentuk fisik yang kongkret biasa juga disebut kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai pada benda yang bergerak.

Kebudayaan diciptakan manusia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam rangka mempertahankan hidupnya serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya.


Penyimpangan Masalah Budaya


Dalam proses perkembangannya terjadi penyimpangan dari tujuan penciptaan kebudayaan (yaitu kesejahteraan) yang terjadi malah menjadi masalah kebudayaan yaitu segala system atau tata nilai sikap, mental, pola berfikit, pola tingkah laku dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak memuaskan bagi warga masyarakat secara keseluruhan.

Masalah tata nilai dapat menimbulkan krisis-krisis kemasyarakatan antara lain “DEHUMANISASI” (pengurangan arti nilai kemanusiaan). DEHUMANISASI terjadi sebagai akibat perubahan sikap manusia sebagai dampak dari penyimpangan tujuan pengembangan kebudayaan.
Untuk mengantisipasi itu maka manusia harus dikenalkan pada pengetahuan Kebudayaan dan Filsafat. Melalui filsafat manusia mengetahui tentang etika, estetika dan logika.


Unsur-Unsur Budaya :


1. Bahasa

2. Sistem Teknologi
3. Mata Pencaharian
4. Organisasi sosial
5. Sistem pengetahuan
6. Religi
7. Kesenian

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya lahirnya kebudayaan :
1. Adanya interaksi dengan alam
2. Adanya interaksi dengan Mahluk lain
3. Adanya interaksi dengan dengan kelompok manusia lain
4. Adanya komitmen untuk pembetukan nilai baru
5. Adanya dukungan komunitas
Dalam hal ini manusia sebagai makhluk pengemban nilai-nilai moral.

Sumber : http://isbdku.blogspot.com/2010/02/pertemuan-ke-2.html